Sabtu, 20 April 2013

SEBATIK ISLAND

Sebatik merupakan salah satu pulau terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pulau ini menjadi pintu gerbang Indonesia di wilayah Kalimantan, tepatnya di bagian utara Provinsi Kalimantan Timur, yang berbatasan lansung dengan negeri Sabah, Malaysia. Pulau Sebatik hanya berjarak 20 menit dari Nunukan dengan menggunakan speed boat. Merupakan salah satu pulau kecil terluar dari 31 pulau yang berpenduduk. Pulau ini terbagi dua wilayah antara Indonesia dan Malaysia dengan pembangunan yang sangat kontras.
Pada 1911-1942, pulau Sebatik merupakan daerah eksploitasi kayu bagi penjajah Belanda. Saat itu dilakukan pemasangan patok perbatasan Indonesia-Malaysia oleh Belanda dan kolonial Inggris. Status kepemilikan pulau Sebatik pun terbagi dua, yaitu wilayah selatan seluas 246,61 Km2 milik Indonesia dan wilayah utara 187,23 Km2 milik Malaysia.
Ambo Mang bin Haji Midok diyakini sebagai orang pertama yang membawa keluarganya menetap di Sebatik pada 1940, tepatnya di daerah Liang Bunyu. Sekarang terdapat ratusan kepala keluarga tinggal dan menetap di sana.
Potensi sumber daya hayati Sebatik cukup menjajikan jika dikelola dengan baik, seperti sektor kelautan dan perikanan (rumput laut dan udang), lahan pertanian, pekebunan (kelapa sawit), dan wisata tapal batas. Pada jasa kemaritiman, pulau Sebatik berhadapan langsung dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang merupakan competitive advantage bagi pengembangan industri pelayaran, baik dalam negeri, luar negeri, maupun pelayaran khusus.
Sarana dan prasarana di pulau Sebatik relatif memadai dengan indikasi kondisi jaringan jalan poros yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan dan seluruh ibukota kecamatan secara eksisting telah terbentuk melingkar (mengelilingi pulau) sepanjang ± 79 km. Namun, kebutuhan energi listrik di pulau tersebut belum terpenuhi secara memadai dan merata. Demikian pula keberadaan air bersih masih menjadi kebutuhan pokok yang sampai saat ini belum terakses  semua warga. Terdapat PDAM Tirta Darma yang berlokasi di Kecamatan Sebatik Utara, namun hanya mampu melayani 708 keluarga.
Dalam dua tahun terakhir, terdapat beberapa isu strategis di wilayah Sebatik yang mengemuka, yaitu isu pergeseran patok perbatasan dan pemakaian uang ringgit. Bagai “dua sisi mata uang”, isu ini selalu dianggap sebagai ancaman NKRI. Isu lain yang tidak kalah penting adalah tidak seimbangnya perkembangan pembangunan wilayah di perbatasan dengan negara tetangga. Contohnya, fakta bahwa pembangunan Malaysia jauh lebih maju daripada wilayah RI di perbatasan yang memungkinkan terjadinya degradasi nasionalisme.
Namun, kebijakan terkait kawasan perbatasan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yaitu Perencanaan dalam Pengelolaan Batas Wilayah Negaraindonesia dan Kawasan Perbatasan, ternyata bersifat makro karena unit analisisnya adalah pulau besar. RPJMN 2010-2014 juga belum memberikan orientasi bagi pembangunan kawasan perbatasan/PPKT secara terpadu. Pendekatan sektoral masih lebih dominan dibandingkan pendekatan regional. Akibatnya, hingga kini belum ada rencana pembangunan yang berorientasi pada upaya pembangunan kawasan perbatasan yang terintegrasi dan rinci.
Bahkan, ada rumah warga yang berlokasi tepat di garis perbatasan sehingga ruang tamu masuk wilayah Indonesia, sedangkan ruang dapur berada di Malaysia. Tidak mengherankan juga kemudian sering muncul isu internasional menyangkut status kepemilikan pulau Sebatik, yang mengakibatkan hubungan Indonesia dan Malaysia memanas dan mengalami pasang surut. Tetapi masyarakat Sebatik dan Tawau Malaysia tidak terpengaruh, mereka tetap menjalankan hubungan yang harmonis, karena sebagian penduduk Sebatik dan Tawau ternyata masih bersaudara, mereka sama-sama berasal dari Bugis.
Secara ekonomi masyarakat Sebatik sangat bergantung kepada Malaysia, khususnya ke Tawau. Hampir semua komoditas yang dihasilkan masyarakat, seperti ikan, sawit dan coklat dijual ke Negeri Jiran. Masyarakat Sebatik juga membeli berbagai kebutuhan sehari-hari dari Tawau. Tidak heran jika ada dua mata uang yang beredar di sana, yakni rupiah dan ringgit. Tapi, warga setempat lebih menyukai ringgit karena nilainya lebih tinggi. Secara geografis, pulau Sebatik juga lebih dekat ke Tawau yang hanya ditempuh dalam waktu 15 menit, bila dibandingkan ke Pulau Nunukan yang memakan waktu 30 menit dengan alat transportasi yang sama dengan ongkos dua kali lipat lebih tinggi.
Perbedaan mencolok yang membuat iri masyarakat Indonesia di pulau Sebatik adalah jika pada malam hari menyaksikan kota Tawau bermandikan cahaya dengan gedung-gedung tinggi, sebaliknya masyarakat di pulau Sebatik gelap-gulita dengan hanya mendapat jatah penerangan listrik dua hari sekali. Belum lagi ketiadaan jaringan air bersih dan jalan rusak, serta pelayanan kesehatan dan minimnya pendidikan, menambah terkucilnya masyarakat Sebatik di tengah gemerlap cahaya kemakmuran Negari Jiran.
Belajar dari sengketa kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan, sengketa blok Ambalat, pengusiran ratusan ribu TKI dan munculnya Asykar Watanlyah yang direkrut dari warga perbatasan, maka sudah sepantasnya pemerintah memberikan perhatian lebih pada pulau Sebatik.
Memahami perbatasan adalah tentang mengidentifikasi kontradiksi inheren yang kritis dari dua realitas yang sulit dipertemukan. Realitas pertama adalah realitas kartografi yang kaku, dan realitas lainnya, yang bertolak-belakang adalah realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis. Pemahaman perbatasan yang kritis ini menjadi sangat penting dalam menyusun alternatif pembangunan wilayah perbatasan sebagai ‘halaman depan’ yang lebih bermakna, manusiawi dan substantif.
Hal itu harus menjadi pelajaran dalam perumusan kebijakan pembangunan, rencana induk atau rencana aksi pengembangan perbatasan ke depan. Pemahaman tentang dinamisme wilayah perbatasan akan menjadi dasar kuat bagi formulasi kebijakan yang manusiawi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat perbatasan. Demikian juga dengan kebijakan pengembangan pulau Sebatik yang diduduki dua negara. Rencana aksi pengembangan pulau Sebatik selayaknya tidak hanya melihat wilayah yang menjadi bagian Indonesia, tetapi sebagai satu kesatuan NKRI (Telah dimuat di Harian Suara Pembaruan Edisi JUmat 22 Februari 2013)

Oleh: Dr. Y. Paonganan, M.Si


Sebatik Island lies in the border of Indonesia and Malaysia. The flags of two countries fly in the tiny island as marine patrolling. (illustration)
REPUBLIKA.CO.ID, Mansyur Faqih (wartawan Republika)
Jangan bicara mengenai nasionalisme di Sebatik.  Republika mencoba bertanya mengenai Indonesia kepada beberapa warga. Hasilnya, cukup mengenaskan. Kebanyakan warga tak tahu siapa presiden dan wakil presiden RI saat ini. Mereka malah semakin panik ketika ditanya mengenai Pancasila dan lagu kebangsaan.

Namun ketika ditanya mengenai Perdana Menteri Malaysia yang sekarang menjabat, mereka sigap dan langsung memberikan jawaban yang tepat. Begitu pula untuk urusan sepakbola. Ajang  Asean Football Federation (AFF) Suzuki Cup pun dimanfaatkan warga untuk mendukung Malaysia ,  “Saya sepakbola kemarin (piala AFF) bela Indonesia. Tapi karena kalah, ya bela Malaysia lagi,” tutur Irman.
Nasionalisme kian luntur di masyarakat Sebatik dan tergantikan dengan kebutuhan. Karena Indonesia seakan tak pernah hadir untuk memberikan dan menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut.
Tak heran jika banyak masyarakat Sebatik yang berharap bisa menjadi warga negara Malaysia . Meski pun kini hal itu sulit terjadi karena adanya kebijakan pengetatan bagi warga negara Indonesia untuk memilliki Mykad. Kartu kependudukan Malaysia yang sebelumnya dikenal dengan IC atau Identity Card.
“Kalau ditawari (IC), saya enggak akan pikir, akan saya ambil. Bukan karena apa-apa, tapi di sini itu susah,” tegas Alamsyah.
Pemilik IC, lanjutnya, memiliki banyak keistimewaan. Misalnya, untuk layanan kesehatan yang terjamin. Lalu sumbangan tahunan yang diberikan untuk setiap warga berpenghasilan Rp 6 juta ke bawah per bulan. Yang tak kalah penting, pendidikan gratis hingga tingkat SMA.
Pemerintah Malaysia, kata Abdul, sangat memperhatikan masyarakatnya. Terutama untuk urusan pendidikan. Bahkan, anak Malaysia hanya perlu fokus belajar. Urusan selebihnya diserahkan kepada pemerintah.
Anak dan orang tua tak perlu dipusingkan dengan urusan biaya atau bahkan mencari sekolah. Karena semua dilakukan pemerintah. Bahkan, siswa diberikan pinjaman untuk dapat masuk ke perguruan tinggi yang dapat dilunasi ketika mereka lulus.
“Di sana itu anak dicari. Jadi sekolah mendata siswa dan akan menempatkan mereka setelah lulus sesuai otaknya. Setelah lulus pun, mereka dicarikan itu pekerjaan,” ungkap Abdul yang sempat menyekolahkan tiga anaknya di Malaysia hingga tingkat sekolah dasar.
Namun semua itu hanya bisa dinikmati oleh warga negara Malaysia. Ini yang membuat Abdul rela bekerja selama 28 tahun di Malaysia. Harapannya, untuk mendapatkan keistimewaan yang sama dengan warga Malaysia lainnya.
Namun keistimewaan itu tak kunjung datang. Hingga akhirnya ia memilih hidup di Sebatik sejak empat tahun silam. Namun, harapannya tetap ada.  Paling tidak,  Pemerintah Indonesia akan memberikan perhatian yang lebih kepada masyarakat Sebatik. Setidaknya, seperti pemerintah Malaysia memperlakukan warga negaranya.
Apalagi saat ini ada wacana untuk meningkatkan Sebatik menjadi sebuah kota sendiri. “Semoga saja pemekaran ini bisa membantu. Karena selama ini banyak pejabat yang datang ke sini dan mendengarkan kita. Tapi setelah itu, tak terjadi apa-apa,” jelas ketua masyarakat NTT di Sebatik Antonius Diaz.

Redaktur : A.Syalaby Ichsan