Pada 1911-1942, pulau Sebatik merupakan daerah eksploitasi kayu bagi
penjajah Belanda. Saat itu dilakukan pemasangan patok perbatasan
Indonesia-Malaysia oleh Belanda dan kolonial Inggris. Status kepemilikan
pulau Sebatik pun terbagi dua, yaitu wilayah selatan seluas 246,61 Km2
milik Indonesia dan wilayah utara 187,23 Km2 milik Malaysia.
Ambo Mang bin Haji Midok diyakini sebagai orang pertama yang membawa
keluarganya menetap di Sebatik pada 1940, tepatnya di daerah Liang
Bunyu. Sekarang terdapat ratusan kepala keluarga tinggal dan menetap di
sana.
Potensi sumber daya hayati Sebatik cukup menjajikan jika dikelola
dengan baik, seperti sektor kelautan dan perikanan (rumput laut dan
udang), lahan pertanian, pekebunan (kelapa sawit), dan wisata tapal
batas. Pada jasa kemaritiman, pulau Sebatik berhadapan langsung dengan
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang merupakan competitive advantage bagi pengembangan industri pelayaran, baik dalam negeri, luar negeri, maupun pelayaran khusus.
Sarana dan prasarana di pulau Sebatik relatif memadai dengan indikasi
kondisi jaringan jalan poros yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan
dan seluruh ibukota kecamatan secara eksisting telah terbentuk melingkar
(mengelilingi pulau) sepanjang ± 79 km. Namun, kebutuhan energi listrik
di pulau tersebut belum terpenuhi secara memadai dan merata. Demikian
pula keberadaan air bersih masih menjadi kebutuhan pokok yang sampai
saat ini belum terakses semua warga. Terdapat PDAM Tirta Darma yang
berlokasi di Kecamatan Sebatik Utara, namun hanya mampu melayani 708
keluarga.
Dalam dua tahun terakhir, terdapat beberapa isu
strategis di wilayah Sebatik yang mengemuka, yaitu isu pergeseran patok
perbatasan dan pemakaian uang ringgit. Bagai “dua sisi mata uang”, isu
ini selalu dianggap sebagai ancaman NKRI. Isu lain yang tidak kalah
penting adalah tidak seimbangnya perkembangan pembangunan wilayah di
perbatasan dengan negara tetangga. Contohnya, fakta bahwa pembangunan
Malaysia jauh lebih maju daripada wilayah RI di perbatasan yang
memungkinkan terjadinya degradasi nasionalisme.
Namun, kebijakan terkait kawasan perbatasan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yaitu Perencanaan dalam
Pengelolaan Batas Wilayah Negaraindonesia dan Kawasan Perbatasan, ternyata
bersifat makro karena unit analisisnya adalah pulau besar. RPJMN
2010-2014 juga belum memberikan orientasi bagi pembangunan kawasan
perbatasan/PPKT secara terpadu. Pendekatan sektoral masih lebih dominan
dibandingkan pendekatan regional. Akibatnya, hingga kini belum ada
rencana pembangunan yang berorientasi pada upaya pembangunan kawasan
perbatasan yang terintegrasi dan rinci.
Bahkan, ada rumah warga yang berlokasi tepat di garis perbatasan
sehingga ruang tamu masuk wilayah Indonesia, sedangkan ruang dapur
berada di Malaysia. Tidak mengherankan juga kemudian sering muncul isu
internasional menyangkut status kepemilikan pulau Sebatik, yang
mengakibatkan hubungan Indonesia dan Malaysia memanas dan mengalami
pasang surut. Tetapi masyarakat Sebatik dan Tawau Malaysia tidak
terpengaruh, mereka tetap menjalankan hubungan yang harmonis, karena
sebagian penduduk Sebatik dan Tawau ternyata masih bersaudara, mereka
sama-sama berasal dari Bugis.
Secara ekonomi masyarakat Sebatik sangat bergantung kepada Malaysia,
khususnya ke Tawau. Hampir semua komoditas yang dihasilkan masyarakat,
seperti ikan, sawit dan coklat dijual ke Negeri Jiran. Masyarakat
Sebatik juga membeli berbagai kebutuhan sehari-hari dari Tawau. Tidak
heran jika ada dua mata uang yang beredar di sana, yakni rupiah dan
ringgit. Tapi, warga setempat lebih menyukai ringgit karena nilainya
lebih tinggi. Secara geografis, pulau Sebatik juga lebih dekat ke Tawau
yang hanya ditempuh dalam waktu 15 menit, bila dibandingkan ke Pulau
Nunukan yang memakan waktu 30 menit dengan alat transportasi yang sama
dengan ongkos dua kali lipat lebih tinggi.
Perbedaan mencolok yang membuat iri masyarakat Indonesia di pulau
Sebatik adalah jika pada malam hari menyaksikan kota Tawau bermandikan
cahaya dengan gedung-gedung tinggi, sebaliknya masyarakat di pulau
Sebatik gelap-gulita dengan hanya mendapat jatah penerangan listrik dua
hari sekali. Belum lagi ketiadaan jaringan air bersih dan jalan rusak,
serta pelayanan kesehatan dan minimnya pendidikan, menambah terkucilnya
masyarakat Sebatik di tengah gemerlap cahaya kemakmuran Negari Jiran.
Belajar dari sengketa kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan, sengketa
blok Ambalat, pengusiran ratusan ribu TKI dan munculnya Asykar
Watanlyah yang direkrut dari warga perbatasan, maka sudah sepantasnya
pemerintah memberikan perhatian lebih pada pulau Sebatik.
Memahami perbatasan adalah tentang mengidentifikasi kontradiksi
inheren yang kritis dari dua realitas yang sulit dipertemukan. Realitas
pertama adalah realitas kartografi yang kaku, dan realitas lainnya, yang
bertolak-belakang adalah realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis.
Pemahaman perbatasan yang kritis ini menjadi sangat penting dalam
menyusun alternatif pembangunan wilayah perbatasan sebagai ‘halaman
depan’ yang lebih bermakna, manusiawi dan substantif.
Hal itu harus menjadi pelajaran dalam perumusan kebijakan
pembangunan, rencana induk atau rencana aksi pengembangan perbatasan ke
depan. Pemahaman tentang dinamisme wilayah perbatasan akan menjadi dasar
kuat bagi formulasi kebijakan yang manusiawi dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat perbatasan. Demikian juga dengan kebijakan
pengembangan pulau Sebatik yang diduduki dua negara. Rencana aksi
pengembangan pulau Sebatik selayaknya tidak hanya melihat wilayah yang
menjadi bagian Indonesia, tetapi sebagai satu kesatuan NKRI (Telah
dimuat di Harian Suara Pembaruan Edisi JUmat 22 Februari 2013)
Oleh: Dr. Y. Paonganan, M.Si
Sebatik Island lies in the border of Indonesia and Malaysia. The
flags of two countries fly in the tiny island as marine patrolling.
(illustration)
REPUBLIKA.CO.ID, Mansyur Faqih (wartawan Republika)
Jangan bicara mengenai nasionalisme di Sebatik. Republika mencoba bertanya mengenai Indonesia kepada beberapa warga. Hasilnya, cukup mengenaskan. Kebanyakan warga tak tahu siapa presiden dan wakil presiden RI saat ini. Mereka malah semakin panik ketika ditanya mengenai Pancasila dan lagu kebangsaan.
Namun ketika ditanya mengenai Perdana Menteri Malaysia yang sekarang menjabat, mereka sigap dan langsung memberikan jawaban yang tepat. Begitu pula untuk urusan sepakbola. Ajang Asean Football Federation (AFF) Suzuki Cup pun dimanfaatkan warga untuk mendukung Malaysia , “Saya sepakbola kemarin (piala AFF) bela Indonesia. Tapi karena kalah, ya bela Malaysia lagi,” tutur Irman.
Nasionalisme kian luntur di masyarakat Sebatik dan tergantikan dengan kebutuhan. Karena Indonesia seakan tak pernah hadir untuk memberikan dan menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut.
Tak heran jika banyak masyarakat Sebatik yang berharap bisa menjadi warga negara Malaysia . Meski pun kini hal itu sulit terjadi karena adanya kebijakan pengetatan bagi warga negara Indonesia untuk memilliki Mykad. Kartu kependudukan Malaysia yang sebelumnya dikenal dengan IC atau Identity Card.
“Kalau ditawari (IC), saya enggak akan pikir, akan saya ambil. Bukan karena apa-apa, tapi di sini itu susah,” tegas Alamsyah.
Pemilik IC, lanjutnya, memiliki banyak keistimewaan. Misalnya, untuk layanan kesehatan yang terjamin. Lalu sumbangan tahunan yang diberikan untuk setiap warga berpenghasilan Rp 6 juta ke bawah per bulan. Yang tak kalah penting, pendidikan gratis hingga tingkat SMA.
Pemerintah Malaysia, kata Abdul, sangat memperhatikan masyarakatnya. Terutama untuk urusan pendidikan. Bahkan, anak Malaysia hanya perlu fokus belajar. Urusan selebihnya diserahkan kepada pemerintah.
Anak dan orang tua tak perlu dipusingkan dengan urusan biaya atau bahkan mencari sekolah. Karena semua dilakukan pemerintah. Bahkan, siswa diberikan pinjaman untuk dapat masuk ke perguruan tinggi yang dapat dilunasi ketika mereka lulus.
“Di sana itu anak dicari. Jadi sekolah mendata siswa dan akan menempatkan mereka setelah lulus sesuai otaknya. Setelah lulus pun, mereka dicarikan itu pekerjaan,” ungkap Abdul yang sempat menyekolahkan tiga anaknya di Malaysia hingga tingkat sekolah dasar.
Namun semua itu hanya bisa dinikmati oleh warga negara Malaysia. Ini yang membuat Abdul rela bekerja selama 28 tahun di Malaysia. Harapannya, untuk mendapatkan keistimewaan yang sama dengan warga Malaysia lainnya.
Namun keistimewaan itu tak kunjung datang. Hingga akhirnya ia memilih hidup di Sebatik sejak empat tahun silam. Namun, harapannya tetap ada. Paling tidak, Pemerintah Indonesia akan memberikan perhatian yang lebih kepada masyarakat Sebatik. Setidaknya, seperti pemerintah Malaysia memperlakukan warga negaranya.
Apalagi saat ini ada wacana untuk meningkatkan Sebatik menjadi sebuah kota sendiri. “Semoga saja pemekaran ini bisa membantu. Karena selama ini banyak pejabat yang datang ke sini dan mendengarkan kita. Tapi setelah itu, tak terjadi apa-apa,” jelas ketua masyarakat NTT di Sebatik Antonius Diaz.
Jangan bicara mengenai nasionalisme di Sebatik. Republika mencoba bertanya mengenai Indonesia kepada beberapa warga. Hasilnya, cukup mengenaskan. Kebanyakan warga tak tahu siapa presiden dan wakil presiden RI saat ini. Mereka malah semakin panik ketika ditanya mengenai Pancasila dan lagu kebangsaan.
Namun ketika ditanya mengenai Perdana Menteri Malaysia yang sekarang menjabat, mereka sigap dan langsung memberikan jawaban yang tepat. Begitu pula untuk urusan sepakbola. Ajang Asean Football Federation (AFF) Suzuki Cup pun dimanfaatkan warga untuk mendukung Malaysia , “Saya sepakbola kemarin (piala AFF) bela Indonesia. Tapi karena kalah, ya bela Malaysia lagi,” tutur Irman.
Nasionalisme kian luntur di masyarakat Sebatik dan tergantikan dengan kebutuhan. Karena Indonesia seakan tak pernah hadir untuk memberikan dan menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut.
Tak heran jika banyak masyarakat Sebatik yang berharap bisa menjadi warga negara Malaysia . Meski pun kini hal itu sulit terjadi karena adanya kebijakan pengetatan bagi warga negara Indonesia untuk memilliki Mykad. Kartu kependudukan Malaysia yang sebelumnya dikenal dengan IC atau Identity Card.
“Kalau ditawari (IC), saya enggak akan pikir, akan saya ambil. Bukan karena apa-apa, tapi di sini itu susah,” tegas Alamsyah.
Pemilik IC, lanjutnya, memiliki banyak keistimewaan. Misalnya, untuk layanan kesehatan yang terjamin. Lalu sumbangan tahunan yang diberikan untuk setiap warga berpenghasilan Rp 6 juta ke bawah per bulan. Yang tak kalah penting, pendidikan gratis hingga tingkat SMA.
Pemerintah Malaysia, kata Abdul, sangat memperhatikan masyarakatnya. Terutama untuk urusan pendidikan. Bahkan, anak Malaysia hanya perlu fokus belajar. Urusan selebihnya diserahkan kepada pemerintah.
Anak dan orang tua tak perlu dipusingkan dengan urusan biaya atau bahkan mencari sekolah. Karena semua dilakukan pemerintah. Bahkan, siswa diberikan pinjaman untuk dapat masuk ke perguruan tinggi yang dapat dilunasi ketika mereka lulus.
“Di sana itu anak dicari. Jadi sekolah mendata siswa dan akan menempatkan mereka setelah lulus sesuai otaknya. Setelah lulus pun, mereka dicarikan itu pekerjaan,” ungkap Abdul yang sempat menyekolahkan tiga anaknya di Malaysia hingga tingkat sekolah dasar.
Namun semua itu hanya bisa dinikmati oleh warga negara Malaysia. Ini yang membuat Abdul rela bekerja selama 28 tahun di Malaysia. Harapannya, untuk mendapatkan keistimewaan yang sama dengan warga Malaysia lainnya.
Namun keistimewaan itu tak kunjung datang. Hingga akhirnya ia memilih hidup di Sebatik sejak empat tahun silam. Namun, harapannya tetap ada. Paling tidak, Pemerintah Indonesia akan memberikan perhatian yang lebih kepada masyarakat Sebatik. Setidaknya, seperti pemerintah Malaysia memperlakukan warga negaranya.
Apalagi saat ini ada wacana untuk meningkatkan Sebatik menjadi sebuah kota sendiri. “Semoga saja pemekaran ini bisa membantu. Karena selama ini banyak pejabat yang datang ke sini dan mendengarkan kita. Tapi setelah itu, tak terjadi apa-apa,” jelas ketua masyarakat NTT di Sebatik Antonius Diaz.
Redaktur : A.Syalaby Ichsan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar